Jumat, 24 Februari 2012

Jaka Sembung makan kecubung, perutnya kembung. Nggak nyambung.


Kalau lihat judul, bahasan kali ini mudah ditebak, pasti tentang bunyi bung. Tapi ada kemungkinan obrolan kita agak "nggak nyambung". Mengapa? Karena bung ini paling tidak memiliki tiga arti.

Pertama, seperti di kata membubung dan melambung, yaitu naik tinggi sekali. Kita suka mendengar harga, layang-layang, atau bola membubung atau melambung.

Yang kedua adalah sesuatu yang luarnya melengkung, isinya kosong. Misalnya gelembung, dada menggembung, balon melembung, perut kembung, pipi cembung, atau sederhana saja: tabung.

Yang ketiga, bermakna menyatukan atau mengaitkan, yaitu menyambung, menghubung, atau menggabung.

Di mana kaitan antara ketiga makna itu?
Saya menduga, di pohon bambu.
Bambu?

Ya, bambu. Bambu banyak terkait dengan bunyi bung. Misalnya,  leluhur kita menyebut tunasnya rebung, dan menamakan batangnya bumbung. Ruas bambu yang terpotong, dengan kulit bulat melengkung dan bagian dalam kosong, mereka juluki tabung. Kemudian pohon ini memang langsing tinggi membubung ke atas.

Bagaimana dengan makna ketiga? Sambung, hubung, gabung?
Terus terang di sini terpaksa kita agak berspekulasi. Nenek moyang kita zaman dulu tampaknya banyak menggunakan bambu sebagai bahan material. Misalnya untuk tiang rumah, bilik rumah, pagar, tangga, rakit, saung di sawah, dsb. Dan jangan lupa: jembatan. Baik yang hanya dengan satu ruas bambu, dua, atau lebih banyak lagi. Bambu disambung, digabung, dan dihubungkan satu sama lain sehingga membentuk sebuah jembatan, yang pada gilirannya juga menghubungkan atau menggabungkan dua tempat yang tadinya terpisah.

Nyambung?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar