Kamis, 21 Juni 2012

Tak ada kerabat sahabat pun berguna (3/3)

[... sambungan]

Menariknya, bunyi “bat” ini juga menelurkan paradoksi. Di satu sisi melahirkan makna cepat, di sisi lain justru sebaliknya: perlahan.

Kita kembali ke akar. Akar yang bermunculan dari kaki pohon ke mana-mana kita sebut merambat. Pepohonan atau hutan yang banyak ditutupi akar gantung, kita sebut lebat. Ini semua merintangi orang untuk masuk lebih dalam. Merintangi jalan, dulu disebut merebat. Menutupi sesuatu disebut menyumbat. Semua ini menghambat, dan membuat gerakan kita menjadi lambat. Di sini paradoksinya.

Lantas, apa hubungan "bat" dengan jamu? Ketika belum ada pil atau tablet, nenek moyang kita tampaknya menemukan bahwa akar tertentu bisa menyembuhkan rasa sakit tertentu. Dari sini muncul istilah obat.

Hebat memang akar ini. Berawal dari kegunaannya sebagai tali, alat pukul, dan penyembuh rasa sakit, dia melahirkan banyak makna dan banyak istilah hingga ke pejabat, tukang embat, atau terlibat. Tidak heran kakek-nenek kita punya semboyan “tak ada rotan akar pun berguna”.

Lema sebelum: Tak ada kerabat sahabat pun berguna (2/3)

Rabu, 20 Juni 2012

Tak ada kerabat sahabat pun berguna (2/3)

[... sambungan]

Apa lagi yang dilakukan oleh nenek moyang kita dengan akar? Memukul. Beberapa akar memang cukup cocok untuk memukul: ringan, elastis, menyakitkan, tapi tidak mematikan. Tampaknya akar pada awalnya digunakan untuk memukul binatang piaraan seperti kerbau, sapi, atau anjing.

Ada beberapa kata tua berbunyi “bat” yang bermakna memukul dengan sesuatu lentur, kecil, atau tipis. Kata-kata itu ialah membabat, mengembat, menyambat, menyebat, dan menyabat. Semuanya sekarang sudah jarang digunakan, kecuali menyabat yang divariasikan dengan menyabet, atau membabat dengan pengertian menebas.

Memukul dengan akar tentunya harus dilakukan dengan cepat, kalau tidak ya tidak ada efeknya. Dari sini “bat” melahirkan makna lain: melakukan sesuatu dengan cepat. Menyembat misalnya, bermakna menarik sesuatu dengan cepat, seperti pancing atau keris. Menyabet sekarang juga berarti merebut, di samping bermakna memukulkan pedang, keris, golok, dsb. Begitu juga dengan kata embat, yang terdengar seperti bahasa gaul, tetapi sebenarnya kata tua, berarti mengambil barang dengan cepat.

Gerakan yang sangat cepat disebut kelebat. Jantung yang berdetak cepat dan berdebar-debar disebut kebat-kebit. Hingga kini orang masih mengucapkan “bat bet bat bet” untuk menunjukkan gerakan yang cepat ke sana sini.

[bersambung ...]

Lema sebelum: Tak ada kerabat sahabat pun berguna (1/3)
Lema sesudah: Tak ada kerabat sahabat pun berguna (3/3)

Selasa, 19 Juni 2012

Tak ada kerabat sahabat pun berguna (1/3)

Apa yang menghubungkan cemeti, jamu, dan karir? Jawaban yang paling singkat adalah “bat”.

Untuk memahami jawaban ini, kita harus kembali ke zaman dulu, ke masa ketika leluhur kita hidup dikelilingi pepohonan dan hutan belukar. Ke era ketika nenek-kakek kita menemukan akar di mana-mana. Di bawah tanah, di permukaan tanah, atau bergantungan dari dahan pohon ke tanah. Akan kita lihat bahwa nenek moyang kita mengaitkan akar ini dengan bunyi “bat”.

Apa yang dilakukan leluhur kita dengan akar? Salah satunya adalah menggunakannya sebagai tali, untuk mengikat tumpukan kayu bakar misalnya. Kita menemukan banyak kata dengan bunyi “bat”, yang bermakna mengikat. Kata-kata ini adalah membebat, mengabat, mengebat, menyambat, dan menambat.

Kata membebat masih kita gunakan dengan makna membalut dengan perban atau kain. Kata menambat masih digunakan dengan arti mengikat perahu. Kata lain sudah sangat jarang terdengar, seiring dengan munculnya material lain yang kita gunakan sebagai tali.

Tetapi beberapa kata turunannya masih kita gunakan sampai sekarang. Diikat atau dibelit, dulu disebut juga dilibat. Sekarang kita menggunakan kata ini, terlibat, dengan makna terlilit, ikut serta, berpartisipasi.

Mengikat, dulu disebut juga menjabat. Kata ini kemudian digunakan untuk menunjukkan terikatnya dua tangan, yaitu ketika berjabatan. Ketika pemberian tugas disimbolkan dengan berjabatan tangan, muncullah kata pejabat, serta jabatan, untuk menjuluki si pengemban tugas serta posisinya.


[bersambung ...]

Lema sebelum: Angklung Jerman
Lema sesudah: Tak ada kerabat sahabat pun berguna (2/3)

Rabu, 16 Mei 2012

Angklung Jerman


Dari mana asal kata angklung? Tak diragukan lagi, ini berasal dari klang-kling-klung yang kita asosiasikan sebagai bunyi yang keluar dari alat musik bambu ini.

Puluhan ribu kilometer dari tempat kita, orang Jerman ternyata memiliki asosiasi yang mirip. Mereka juga memiliki kata Klang, kling, dan geklungen, yang kesemuanya terkait dengan makna "bunyi".

"Klang" artinya "bunyi"; "Kling!" berarti "Berbunyilah!"; "geklungen", dengan didampingi kata bantu "haben" berarti "telah berbunyi", dan dengan didampingi kata bantu "werden" memiliki makna "dibunyikan".

Menariknya, kita mengaitkan klang-kling-klung dengan bunyi bambu, sementara orang Jerman mengaitkan dengan bunyi besi, tepatnya ketika pedang beradu dengan baju zirah para ksatria. Hingga kini orang Jerman menyebut bilah pedang itu Klinge.

Apakah ini contoh dari ungkapan "bahasa menunjukkan bangsa"? Leluhur bangsa Jerman senang pertempuran, sementara leluhur kita senang menikmati alunan musik bambu?

Lema sebelum: "Presiden Bambang: Suka bimbang, atau suka menimbang? (bagian dua)"
Lema sesudah: Tak ada kerabat sahabat pun berguna (1/3)

Kamis, 03 Mei 2012

Presiden Bambang: Suka bimbang, atau suka menimbang? (bagian dua)

[sambungan]

Kita sudah melihat bagaimana bunyi bang bergerak dari lubang ke gerbang. Gerbang, sebagai tempat keluar masuk, merupakan pintu, dan tentu harus bisa dibuka. Sebagai pintu dia memiliki ambang; dan gerakan daun pintu terbuka lebar-lebar disebut mengembang. Kata kembang sendiri tampaknya kemudian dipakai juga ke gerakan kelopak bunga yang membuka; hingga akhirnya kita secara umum menyebut bunga itu kembang.

Gerbang biasanya berada di perbatasan, yaitu sebuah garis yang memisahkan dua keadaan yang berbeda. Jika kedua keadaan ini berada di tingkatan yang sama, kita menyebutnya imbang. Tindakan membandingkan dua keadaan yang berbeda disebut menimbang.

Bila sesuatu berada stabil di antara dua keadaan berbeda, kita menyebutnya mengambang, jika di air; atau terbang, jika di udara. Yang pertama tidak tenggelam dan tidak mengapung; yang kedua tidak jatuh dan tidak membumbung tak terkendali.

Sebaliknya, jika tidak ada posisi stabil, tidak ada posisi jelas, orang menyebutnya terombang-ambing. Dan orang yang ragu mengambil posisi yang jelas, dikatakan bimbang.

Kembali ke pertanyaan di judul tulisan ini: Apakah Pak Bambang itu suka bimbang, atau suka menimbang? Jawabannya tampaknya tergantung apakah kita orang yang dekat dengan dia, atau yang merasa jauh dari dia.
Jawaban yang tampaknya benar: Beliau suka nembang ...

Lema sebelum: "Presiden Bambang: Suka bimbang, atau suka menimbang? (bagian satu)"
Lema sesudah: Angkung Jerman

Rabu, 02 Mei 2012

Presiden Bambang: Suka bimbang, atau suka menimbang? (bagian satu)

Kali ini kita akan membahas bunyi bang. Kita akan lihat bahwa bunyi ini boleh jadi mengalami beberapa pergeseran makna yang menarik.

Tapi kita lihat dulu makna awalnya, yaitu bolongan di tanah: lubang. Jika bolongannya tidak dalam, atau hanya lekukan, kita menyebutnya lembang. Jika lekukannya agak besar, hingga kerbau atau babi bisa berendam di sana: kubang. Lekukan atau bolongan yang lebih besar lagi, hingga orang bisa masuk ke dalam, dan mengambil emas, perak, atau logam dan bebatuan lain: tambang.

Apabila ada pohon runtuh hingga akar-akarnya tercabut, dan meninggalkan bolongan di tanah, kita menamakannya tumbang. Jika runtuhnya karena ulah manusia, kita istilahkan tebang.

Dari bolongan, tampaknya makna bang kemudian terkait dengan hal yang keluar masuk ke bolongan tadi. Misalnya jabang: bayi yang keluar dari rahim ibu. Kemudian subang: perhiasan yang masuk ke lubang di cuping telinga. Atau jambang: bejana untuk memasukkan tanaman atau bunga.

Satu tempat untuk keluar masuk akan menjadi kata penting untuk kita: gerbang. Kata ini tampaknya akan menjadi pintu bagi bunyi bang untuk bergerak ke arah makna lain. Ini akan kita lihat di bahasan berikutnya.

[bersambung]

Lema sebelum: Salam dari bohlam alam
Lema sesudah: "Presiden Bambang: Suka bimbang, atau suka menimbang? (bagian dua)"

Rabu, 25 April 2012

Salam dari bohlam alam

Lam. Kita mengenal ini sebagai salah satu huruf Arab. Huruf ini berkerabat dengan huruf Ibrani "lamed", dan huruf Yunani "lambda", yang semuanya mewakili bunyi "l". Para pakar bahasa mengaitkan asal-usul huruf-huruf ini dengan makna "belajar", "mengajar", dan "mengetahui". Kita, yang jauh dari Arab dan Yunani, menyerap beberapa kata seperti "ilmu, "ulama", "mualim", "alamat", "maklum", dan "maklumat". Semuanya diturunkan dari "lam", dan maknanya terkait dengan "mengetahui".

Menariknya di bahasa kita sendiri, bunyi lam ada kemungkinan bermakna sebaliknya: yaitu "tidak tahu" atau "gelap". Kita mulai dari kelam, yang memang bermakna gelap. Kemudian malam, bagian hari yang gelap. Setelah itu menyelam, yaitu ketika kita memasuki bagian air yang lebih gelap; atau tenggelam, jika kita tidak naik lagi ke permukaan air. Dan bagian yang paling gelap dari sesuatu, adalah bagian yang paling dalam.

Ada satu kata lagi yang bermakna redup atau gelap: silam. Tapi kita lebih sering memakainya untuk waktu yang telah lampau.
Apakah ini pertanda bahwa kita memang melihat masa lalu sebagai hal yang gelap?
Kalau iya, maka positifnya kita ini orang yang optimis menghadapi masa depan.
Tetapi negatifnya, ini pertanda bahwa kita memang bukan orang yang peduli sejarah.

Lema sebelum: "Berita gempar: Lima lemparan di bawah par"
Lema sesudah: "Presiden Bambang: Suka bimbang, atau suka menimbang? (bagian satu)"

Jumat, 20 April 2012

Berita gempar: Lima lemparan di bawah par


Kita tidak akan bicara masalah golf, meski arena olahraga ini biasanya padang yang terhampar luas. Kita akan bicara tentang permukaan rata yang terbentang dari ujung satu ke ujung lain.

Ketika orang memukul dengan permukaan tangan yang rata, kita menyebutnya menampar. Atau menggampar. Jika orang terbawa ombak ke permukaan pantai yang rata, kita menyebutnya terdampar. Dan orang yang tergeletak di permukaan rata, disebut terkapar. Apabila dia bergerak-gerak di permukaan tadi, kita sebut menggelepar.

Makna yang terkandung di bunyi par ini memasuki pula dunia kiasan: ketika orang menguraikan sesuatu hal, membentangkan permasalahan, membeberkan sebuah persoalan, kita menyebutnya memaparkan.


Lema sebelum: Kata Indonesia untuk "spiral"
Lema sesudah: Salam dari bohlam alam

Selasa, 10 April 2012

Kata Indonesia untuk "spiral"


Di pelajaran matematika kita mengenal "bujur sangkar", "jajaran genjang", atau "layang-layang"; istilah yang diambil dari kosa kata bahasa kita sendiri. Tetapi untuk bentuk garis yang melingkar berulang-ulang, tampaknya kita tidak punya perbendaharaan kata sendiri. Karenanya kita serap penuh kata "spiral".

Padahal para pakar bahasa bisa mengusulkan sebuah kata yang berakhiran lit. Kita akan lihat bahwa bunyi ini erat kaitannya dengan makna melingkar berulang. Contoh yang bagus adalah melilit. Kemudian membelit. Atau ketika kita sakit perut, seolah-olah usus kita diputar beberapa kali: sembelit.

Jika kita bergerak seperti memutar berulang kali, orang menyebutnya jumpalit. Dan jika kita menghindar dengan gerakan seperti berputar ke sana-sini, kita namakan berkelit.

Kita pernah menciptakan kata baru dengan bunyi lit: tulalit. Nada telepon ini sangat akrab di telinga kita, meski tanpa "lirik"; dan naluri bahasa kita menerjemahkan melodinya dengan "tu-la-lit". Mengapa harus berakhiran lit? Mengapa tidak tidak dipilih "lirik" lain? Boleh jadi karena ada kaitan dengan kabel telepon yang memang berbentuk spiral ...

Jadi, bolehkah kita menciptakan kata Indonesia untuk "spiral"? Mengapa tidak. Kita bisa usulkan misalnya  "kwelit" ... sebuah gabungan dari lit dengan kata "kuwel-kuwel" :-)

Apakah kata baru ini bisa populer? Harus diakui, ini pertanyaan yang sulit.

Lema sebelum: Kedondong montong dari Hongkong (2) 
Lema sesudah: Berita gempar: Lima lemparan di bawah par

Rabu, 04 April 2012

Kedondong montong dari Hongkong (2)

[... sambungan]

Kelompok o-ong pertama dengan makna bulat memanjang bisa kita temukan di bentuk lonjong. Makanan berbentuk seperti ini adalah lontong. Binatang berbentuk ini misalnya sotong. Hantu yang bulat memanjang  kita sebut pocong. Sementara fase ketika kupu-kupu masih terbungkus bulat memanjang, diberi nama kepompong.

Mengancam orang dengan senjata bulat memanjang disebut menodong. Mulut binatang yang bulat memanjang kita namakan moncong. Kalau kita sendiri yang memanjangkan mulut, itu disebut monyong.

Kelompok o-ong kedua memiliki makna berlubang, tidak berisi, hampa, hilang, atau kosong alias melompong. Ini jelas terlihat di kata bolong, lubang. Atau di bagian bawah kasur: kolong. Ketika gigi tanggal, ada bagian gusi yang tidak terisi: ompong. Atau ketika perut tidak terisi: keroncong.

Kaos yang memiliki bagian yang hilang, disebut oblong. Ucapan yang hampa adalah bohong. Hal yang tidak berisi disebut bodong.

Menghilangkan barang secara tidak sah, alias mencuri, disebut mencolong. Jika sekedar membawa, memboyong. Kalau terjadi dalam proses jual beli, memborong.

Bahasan ini kita tutup dengan suara anjing di malam yang sepi, sunyi, hampa: lolong.

Lema sebelum: Kedondong montong dari Hongkong (1)
Lema sesudah: Kata Indonesia untuk "spiral"

Selasa, 03 April 2012

Kedondong montong dari Hongkong (1)


Apa persamaan cerobong, gorong-gorong, dan lorong?
Yang jelas kelihatan, ketiga kata ini berakhiran ong. Lantas, suku kata kedua dari akhir  berbunyi o. Kemudian maknanya: semuanya mengacu ke sebuah benda yang cenderung memanjang, berlubang di tengah, dan selubungnya  memiliki bagian yang melengkung.

Sifat yang sama ini bisa ditemukan di benda-benda lain yang juga berbunyi o-ong:
    corong
    kerongkong
    an
    selongsong
    teropong
    terowong
    an
Semuanya berlubang, cenderung memanjang dengan bagian luar membulat.

Kita akan lihat bahwa kedua sifat ini yaitu:
    berlubang, dan
    bulat memanjang
membentuk 2 kelompok kata lain yang juga berbunyi o-ong.

[bersambung ...]

Lema sebelum: Cut! Take Two.
Lema sesudah:  Kedondong montong dari Hongkong (2)

Rabu, 28 Maret 2012

Cut! Take Two.


Sebelum ini sudah kita telusuri bagaimana bunyi kat terkait dengan makna dekat. Sekarang akan kita lihat bahwa bunyi ini memiliki makna kedua, yang juga bisa dirangkum di satu kata: angkat, yaitu ke menempatkan posisi yang lebih tinggi.

Kata mengangkat sendiri sudah berarti membawa ke tempat lebih tinggi. Posisi yang lebih tinggi sendiri disebut tingkat; sesuatu yang bergerak ke sana kita sebut meningkat. Orang di posisi tinggi kita katakan berpangkat, atau berperingkat.

Jika kita menaikkan kaki ke posisi lebih tinggi, kita istilahkan jingkat. Jika kita lemah, alat bantu yang menaikkan kaki kita adalah tongkat. Dan kalau sudah lemah sekali, mungkin kita akan mangkat, meninggal, yang dipercaya leluhur kita merupakan perjalanan ke tempat yang lebih tinggi.
 
Akhirnya kita berada di taman kanak-kanak, melihat anak-anak tertawa di atas alat main yang naik turun: jungkat-jungkit.

Bila kita lihat, sejatinya ini semua bukan bunyi kat, tapi ngkat. Boleh jadi nenek moyang kita menganggap keduanya memang dua bunyi yang berbeda.

Lantas apa hubungannya dengan kata Inggris di judul tulisan ini? "Cut" berarti memotong, membuat sesuatu menjadi lebih pendek, atau menjadi lebih singkat?

Lema sebelum: Cut! Take One.
Lema sesudah: Kedondong montong dari Hongkong (1)

Senin, 26 Maret 2012

Cut! Take One.



Ini bukan bahasan atas nama wanita Aceh, tapi tentang kat, suatu bunyi yang maknanya tampaknya bisa dirangkum oleh satu kata: dekat, tidak jauh.

Bagaimana kita mendekatkan barang-barang yang berjauhan? Bisa kita ikat, atau kita rekat. Mereka akan dengan sendirinya melekat.

Sesuatu yang membatasi dua hal yang berdekatan disebut sekat. Air yang berisi banyak partikel sehingga mereka berdekatan, kita sebut pekat. Dan bila ada jejaka tertarik pada seorang gadis, dan merasa ingin dekat dengannya, kita menyebutnya terpikat.

Lema sebelum: Burung cenderung bertarung di atap warung
Lema sesudah: Cut! Take Two. 

Kamis, 22 Maret 2012

Burung cenderung bertarung di atap warung


Dari judul di atas sudah terlihat bahwa kita kali ini akan membahas bunyi rung. Kita akan lihat bahwa bunyi ini erat kaitannya dengan makna menutup.

Kata pertama adalah mengurung, yang artinya menghalangi agar tidak terlihat, singkatnya menutupi. Kemudian sarung, kain yang menutupi badan kita dari pinggang ke bawah. Selanjutnya ada karung, juga semacam kain yang menutup dan menghalangi agar barang di dalamnya tidak lepas tercecer.

Jika kita sedih, dan muka kita seolah-olah tertutupi sesuatu, kita menyebutnya murung. Dan akhirnya sampailah kita pada bagian kelapa yang memiliki hobby menutupi katak: tempurung.

Lema sebelum: Kurang bagusnya rokok dari sudut bahasa
Lema sesudah: Cut! Take One.

Rabu, 14 Maret 2012

Kurang bagusnya rokok dari sudut bahasa


Teman-teman perokok pasti teriak: Apa pula ini? Sabar dulu, ini bukan tambahan kritik atas rokok. Untuk itu sudah ada pegiat kesehatan, atau ustadz dan kiai yang meninjau dari sudut agama.

Seperti biasa, di sini kita akan mencoba melihat kaitan di antara kata-kata yang berakar sama. Beberapa teman rokok adalah bengkok, jongkok, bongkok, dan cangkok. Kalau kita amati, semuanya memiliki kaitan arti tidak lurus, melengkung, atau malah patah.

Bengkok, jelas tidak lurus. Ketika kita jongkok, posisi kita melengkung, tidak lurus. Orang yang bongkok, badannya tidak lurus. Dahan yang dipatahkan, kemudian disambung dengan yang lain, disebut dicangkok.

Kata lain adalah cekok, bermakna memaksa orang lain memakan sesuatu. Juga bukan sesuatu yang manis. Paling enak barangkali mangkok, alat makan yang melengkung, tidak ceper lurus seperti piring.

Mangkok bervariasi di mangkuk. Kebetulan bongkok juga bervariasi di bungkuk. Jadi kita akan teruskan mencari teman rokok di bunyi kuk.

Yang kita dapat adalah lekuk, tekuk, bekuk. Dan ini semua lagi-lagi memiliki makna tidak lurus. Lekukan tubuh adalah bagian badan yang tidak lurus. Kita menekuk sesuatu menggunakan tangan yang dilengkungkan. Membekuk seseorang berarti menangkap dengan jalan melengkungkan tubuh kita ke badan dia.

Kesimpulan? Apakah memang rokok bukan sesuatu yang lurus?
Lho, kok malah nanya?

Lema sebelum: Air dan berakhirnya Orde Baru
Lema sesudah: Burung cenderung bertarung di atap warung 

Rabu, 07 Maret 2012

Air dan berakhirnya Orde Baru


Sebelum ini kita sudah melihat kaitan antara air dengan bunyi "bur". Jika si air ini mengalir banyak dan deras, tanpa hambatan, orang tua kita dulu memiliki bunyi lain untuk menggambarkannya: car-cur-cor. Mereka mewariskan kepada kita kata memancar, mengucur atau mengocor.

Kita warisi pula dari mereka kata-kata lain yang bermakna mirip. Misalnya lancar, jika sesuatu berjalan tanpa hambatan. Atau gencar, bila sesuatu bergerak terus-menerus, tanpa henti. Juga mencecar, yaitu ketika kita menghujani orang terus-menerus dengan ucapan, pertanyaan, dsb. Kemudian berpencar apabila banyak orang bergerak ke berbagai arah. Bila gerakan ini cepat dan tidak menentu, kita sebut kocar-kacir.

Di atas sudah kita lihat mengucur, yang juga berarti mengalir. Jika sesuatu mengalir kencang, juga tanpa hambatan, kita katakan meluncur. Air yang mengalir bertebaran ke mana-mana kita sebut memancur (dan kakek-nenek kita dulu mandi, nyuci, dsb. di bawah pancuran). Jika yang bertebaran ini benda padat, karena pecah, dan dia berantakan ke mana-mana, kita istilahkan hancur.

Dari bunyi cor tidak banyak kata yang terbentuk. Selain mengocor, kita barangkali hanya mengenal bocor, yaitu ketika air mengalir melalui lubang atau retakan.

Kembali ke kata luncur. Tampaknya kata ini bervariasi di lungsur, yang juga berarti mengalir turun. Ini berkerabat dengan longsor, yang menunjukkan turunnya tanah atau bebatuan. Menariknya, variasi ini berlanjut ke vokal "e", di mana kita mengenal kata lengser, yaitu ketika seseorang turun dari jabatannya. Dan peristiwa ini yang mengakhiri era Orde Baru beberapa tahun silam.

Lema sebelum: Paradoksi ikan kakap
Lema sesudah: Kurang bagusnya rokok dari sudut bahasa 

Senin, 05 Maret 2012

Paradoksi ikan kakap


Sebelum ini sudah kita lihat banyak contoh bagaimana kata-kata yang berakar sama memang memiliki makna yang berkerabat. Kita masih bisa tambahkan kata dekap, sekap, tangkap, atau rangkap. Semuanya memiliki arti yang mengarah ke menutupi, mengelilingi, atau mengurung. Mari kita lihat beberapa contohnya.

    Ibu mendekap bayinya.
    Perompak menyekap awak kapal di buritan.
    Penjaga gawang menangkap bola dengan kedua tangannya.
    Setiap hari dia terperangkap kemacetan Jakarta.
Menariknya ada dua kata lain dengan bunyi kap tetapi bermakna sebaliknya: ungkap, dan singkap.
    Dia mengungkapkan semua uneg-unegnya.

    Tintin menyingkap jaringan rahasia perdagangan obat bius.
Di sini ungkap dan singkap justru berarti membuka atau membongkar, bukan menutup.

Cukup aneh memang, mengapa malah bertentangan. Apakah mungkin awalnya ungkap dan singkap berarti menutup juga, tetapi kemudian ada salah pemakaian?

Lema sebelum: Kill Bill vs Call Ball alias Cool Bull (Part 3/3)

Lema sesudah: Air dan berakhirnya Orde Baru

Sabtu, 03 Maret 2012

Kill Bill vs Call Ball alias Cool Bull (Part 3/3)

[... sambungan]

Menariknya, bunyi ul-ol ini sangat suka kita gunakan untuk anggota tubuh:

    bagian depan kaki yang mencuat, dengkul;
    pangkal paha yang juga menonjol, pinggul;
    jari yang paling gemuk, jempol;
    gigi yang mencuat keluar, gingsul;
    kepala yang menonjol ke belakang, gonjol;
    kepala yang benar-benar mencuat, alias tanpa rambut, gundul (dan jangan lupa juga wujud makhluk yang cebol dan gundul: tuyul).
Dan di bagian tubuh ini kita akan mulai dengan membandingkan ul-ol dengan il.
      Jika dahi kita terbentur pintu hingga bengkak, jendil (atau jendol). Gumpalan kecil di kelopak mata tetapi jendil.
      Bila kita digigit serangga sehingga muncul bintik-bintik agak besar, bentol. Bercak yang lebih kecil tetapi bintil.
      Perut yang agak besar kita sebut gembul. Kalau itu terlihat di pipi, namanya gembil.
    Dikotomi ini berlanjut di kata kerja.
        Menyentuh sesuatu yang kecil, menyentil. Menyantap makanan kecil, mencamil (nyemil). Mencuri barang-barang yang kecil, mengutil. Mencubit sedikit, mencuil.
        Kalau mencubit lebih besar, mencewol. Mencuri barang lebih banyak, menggondol.
        Membuat kerusakan yang agak besar, membobol, menjebol, atau membedol.
        Sementara menyendiri disebut memencil, menyempil, atau mengucil.
      Menautkan sesuatu yang kecil dengan il, sementara yang lebih besar dengan ul-ol, tampaknya sudah masuk ke bawah alam sadar kita. Tak heran jika kita menyebut cuatan kecil di kulit sebagai upil dan kutil; sementara yang relatif lebih besar bisul dan benjol.

      Naluri bahasa ini yang membuat kita tidak kesulitan untuk menamai boneka kerdil, kecil, mungil itu "si Unyil".
      Kalau dia agak besar mungkin namanya "si Bahenol"?

      Lema sebelum: Kill Bill vs Call Ball alias Cool Bull (Part 2/3)
      Lema sesudah: Paradoksi ikan kakap

      Jumat, 02 Maret 2012

      Kill Bill vs Call Ball alias Cool Bull (Part 2/3)

      [... sambungan]

      Makna yang sama bisa dilihat di kata kerja berikut ini:
        memikul dan memanggul, yang artinya membuat sesuatu terangkat;
        menyundul, membuat sesuatu terlontar ke atas;
        menyusul, mencuat melewati yang lain;
        atau menonjol, mencuat sehingga tampak dominan.
      Contoh lain:
        Bagian dari jarum yang dominan kita namakan pentol (atau pentul, pintul). Dari sini kita istilahkan pimpinan sebuah kelompok itu pentolan.
        Jika di dinding yang rata ada yang mencuat, dan kita bisa mengaitkan sesuatu di sana, kita sebut cantol.
        Bila di papan, meja, dinding, dsb. ada yang mencuat, dan itu bisa ditekan, kita katakan tombol.
      Tampaknya makna ul-ol kemudian meluas ke sesuatu yang “menonjol karena mengumpul atau bersatu di satu tempat”, seperti contoh di bawah ini:
        bahan tambalan yang dikumpulkan di lubang sebuah kayu, disebut dempul;
        tali yang diikat terkumpul dinamakan simpul;
        helaian-helaian kain yang dikumpulkan kemudian dipasang di tiang diistilahkan umbul-umbul;
        asap yang menggumpal dijuluki kepul (atau kebul);
        tanah yang disatukan untuk membendung air diberi nama tanggul;
        menyatukan orang disebut merangkul.
      [bersambung ... ]

      Lema sebelum: Kill Bill vs Call Ball alias Cool Bull (Part 1/3)
      Lema sesudah: Kill Bill vs Call Ball alias Cool Bull (Part 3/3)

      Kamis, 01 Maret 2012

      Kill Bill vs Call Ball alias Cool Bull (Part 1/3)


      Di dunia ini ada kata-kata yang berbunyi mirip, tetapi bermakna bertentangan. Misalnya "here" dan "there", "thick" dan "thin", "flop" dan "top", atau "yin" dan "yang". Bahasa kita pun memiliki contoh semacam; misalnya "cekung" dan "cembung", "cocok" dan "cekcok", "bunyi" dan "sunyi", dsb.

      Kita akan lihat bahwa beberapa pertentangan diwakili oleh bunyi il dan ul. Misalnya bintil dan bintul, gembil dan gembul, atau jendil dan jendul. Perlu dicatat bahwa kita juga mengenal variasi bentol, gembol, dan jendol; dan karenanya kita akan bandingkan il di satu pihak, dengan ul-ol di lain pihak.

      Sebelum membandingkan kedua bunyi, mari kita teliti dulu beberapa kata yang berbunyi ul-ol. Kita mulai dengan beberapa kalimat berikut ini:

        Matahari pagi muncul di ufuk timur.
        Rakit itu timbul-tenggelam disapu ombak.
        Dari sebuah lubang menyembul kepala ular.
        Kepalanya nongol dari balik jendela.
      Contoh-contoh di atas memperlihatkan bahwa bunyi ul-ol menunjukkan "menjadi tampak", atau "mencuat keluar".

      Ini diperkuat oleh contoh lain sbb.:

        sisa pohon yang ditebang tetapi masih mencuat di tanah disebut tunggul;
        bagian rambut ibu-ibu yang mencuat dinamakan sanggul;
        kulit kepala ayam yang mencuat diistilahkan jambul;
        batang pohon jagung yang mencuat ke atas dijuluki tongkol.
      [bersambung ...]

      Lema sebelum: Hati-hati memberi nama
      Lema sesudah: Kill Bill vs Call Ball alias Cool Bull (Part 2/3)

      Rabu, 29 Februari 2012

      Hati-hati memberi nama


      Suatu saat kita akan, atau malah sudah pernah, memberi nama. Mungkin untuk bayi kita, perusahaan yang kita dirikan, gang di depan rumah, kelompok arisan, band sekolah, slogan pilkada, dsb. Nama yang ujungnya berbunyi ram tampaknya harus dipikir ulang. Mengapa? Naluri kita dalam berbahasa sering mengaitkan bunyi ini dengan sesuatu yang cenderung menyedihkan.

      Ketika kita sedih, wajah kita muram. Mungkin karena memikirkan masa depan yang suram. Semua yang kita lihat tampak buram.

      Ketiga kata tadi memiliki makna tidak terang, tidak bercahaya. Ini tampaknya berasal dari kata lain yang memang berarti menutup. Kita memeramkan mata. Induk ayam mengeram telurnya. Kalau anak disekap di rumah, orang menyebutnya diperam.

      Konotasi negatif ini berlanjut di kata lain. Kapal tenggelam, karam. Kuburan di waktu malam, seram. Orang marah besar, geram. Turunan yang terjal menakutkan, curam. Sungai deras berbahaya, jeram. Yang kecil dan tidak bermutu, guram.

      Kalau mi siram? Yang ini enak.

      Selasa, 28 Februari 2012

      Apa hubungan antara Titanic, Cengkareng, dan bangsa terjajah?

      Jawabannya adalah posisi di bawah, yang ditampilkan oleh bunyi das.

      Titanic kandas, atau tenggelam ke bawah laut. Di Cengkareng tersedia landasan, tempat pesawat turun ke bawah. Jika kita menekan sesuatu ke bawah dengan jari tangan hingga hancur, kita menyebutnya menindas. Begitu juga bangsa yang terjajah, mereka tertindas.

      Bila kita menekan sesuatu tadi dengan sebuah alat, misalnya roda, kita menamakannya melindas. Dan kalau kita menghabiskan harta hingga harus merogoh ke bagian bawah kantong kita, kita sebut tandas.

      Menariknya, kita tampaknya suka menggunakan bunyi das ini dalam pengertisan kiasan. Tadi sudah kita lihat bangsa tertindas. Kemudian ada harapan kandas. Pejabat yang menandaskan kebijakannnya. Hukum sebagai landasan negara. Dan tim sepakbola kita yang dilindas saingan bebuyutannya.

      Minggu, 26 Februari 2012

      Cara menyunting gadis ting-ting keriting


      Sebelum ini kita sudah bertemu dengan kepiting. Selain menjepit, dia juga bisa menusuk dengan bagian tubuhnya yang tajam. Kita akan lihat bahwa ada benda-benda lain yang sama menusuk, ternyata juga berbunyi ting.

      Misalnya perhiasan yang menusuk kulit telinga: anting. Kemudian sayatan bambu yang diruncingkan untuk menutup bungkusan daun: biting. Bagian pohon setelah batang dan dahan, yang bisa menusuk: ranting. Tak ketinggalan juga kakek-kakek kita; ketika mereka menggulung tembakau dengan daun kawung, hingga meruncing seperti ranting, kita sebut melinting.

      Dari pengertian menusuk, makna ting tampaknya berkembang menjadi memuncak. Bagian puncak dari dada, kita juluki puting. Dan wanita yang hamil, yang perutnya membesar, disebut bunting. Permasalahan yang berada di puncak, kita golongkan penting. Dan bagian puncak dari rumah, kita namakan genting.

      Genting, selain mengacu ke atap, juga bermakna permasalahan yang berada di puncak atau mendesak.
      Masalah seperti ini bisa membuat orang pontang-panting. Atau malah sinting?

      PS: Orang Inggris menyebut menusuk dan menyengat juga sting ...


      Jumat, 24 Februari 2012

      Jaka Sembung makan kecubung, perutnya kembung. Nggak nyambung.


      Kalau lihat judul, bahasan kali ini mudah ditebak, pasti tentang bunyi bung. Tapi ada kemungkinan obrolan kita agak "nggak nyambung". Mengapa? Karena bung ini paling tidak memiliki tiga arti.

      Pertama, seperti di kata membubung dan melambung, yaitu naik tinggi sekali. Kita suka mendengar harga, layang-layang, atau bola membubung atau melambung.

      Yang kedua adalah sesuatu yang luarnya melengkung, isinya kosong. Misalnya gelembung, dada menggembung, balon melembung, perut kembung, pipi cembung, atau sederhana saja: tabung.

      Yang ketiga, bermakna menyatukan atau mengaitkan, yaitu menyambung, menghubung, atau menggabung.

      Di mana kaitan antara ketiga makna itu?
      Saya menduga, di pohon bambu.
      Bambu?

      Ya, bambu. Bambu banyak terkait dengan bunyi bung. Misalnya,  leluhur kita menyebut tunasnya rebung, dan menamakan batangnya bumbung. Ruas bambu yang terpotong, dengan kulit bulat melengkung dan bagian dalam kosong, mereka juluki tabung. Kemudian pohon ini memang langsing tinggi membubung ke atas.

      Bagaimana dengan makna ketiga? Sambung, hubung, gabung?
      Terus terang di sini terpaksa kita agak berspekulasi. Nenek moyang kita zaman dulu tampaknya banyak menggunakan bambu sebagai bahan material. Misalnya untuk tiang rumah, bilik rumah, pagar, tangga, rakit, saung di sawah, dsb. Dan jangan lupa: jembatan. Baik yang hanya dengan satu ruas bambu, dua, atau lebih banyak lagi. Bambu disambung, digabung, dan dihubungkan satu sama lain sehingga membentuk sebuah jembatan, yang pada gilirannya juga menghubungkan atau menggabungkan dua tempat yang tadinya terpisah.

      Nyambung?


      Kamis, 23 Februari 2012

      Kidung orang badung yang tersandung


      Seorang wanita berkerudung yang sedang mengandung berlindung di sebuah gedung ketika hari mendung. Lima bunyi dung di dalam satu kalimat. Adakah keterkaitannya?

      Bisa jadi. Ada kemungkinan semuanya bermakna menutup. Tapi kita akan mulai dengan kata lain: tudung. Kata ini biasa kita pakai untuk sesuatu yang menutup; misalnya tudung saji untuk menutupi makanan. Dari sini kita beralih ke kudung: kain yang digunakan untuk menutup kepala. Kita kenal juga variasinya: kerudung.

      Ketika langit dipenuhi awan gelap, dan cahaya matahari menjadi tertutup, kita menyebutnya mendung. Dan sebuah bangunan yang menutupi kita, baik dari cahaya matahari maupun hujan, kita namakan gedung.

      Sekarang kita lihat anak ayam. Ketika ada elang datang menyambar, mereka berlarian menuju induknya. Si induk mendekap anak-anaknya dengan sayapnya, dia menutupi mereka dari incaran sang elang. Si ibu ayam melindungi buah hatinya.

      Ibu, sang pemberi perlindungan kita sebut indung. Kata ini sudah jarang digunakan; kita paling hanya kenal istilah indung telur. Di beberapa daerah, kata ini masih digunakan dengan makna ibu. Misalnya di kalangan orang Banjar, di Kalimantan; atau orang Sunda di Jawa Barat.

      Satu lagi kasih ibu untuk kita: sejak awal ibu sudah pasang badan dengan menutupi kita di dalam tubuhnya selama berbulan-bulan lamanya. Ya, itulah saat ketika ibu mengandung kita.

      Rabu, 22 Februari 2012

      Orang Barbar di bar

      Kita sudah lihat bagaimana byur terkait dengan akar kata bur. Bagaimana dengan byar? Apakah terkait dengan bar?

      Kita mendengar byar ketika sekeliling kita menjadi terang, misalnya ketika lampu menyala (atau byar-pet jika listrik sering mati-hidup). Kemudian ada gebyar ketika sesuatu diperlihatkan, misalnya pertunjukan di panggung.

      Kedua kata tsb. menunjukkan tampaknya sesuatu yang sebelumnya tak terlihat.

      Ini sejalan dengan kata gambar, jabar atau babar. Menggambar berarti memunculkan sosok ke atas media yang sebelumnya kosong. Menjabarkan bermakna menerangkan, sehingga detail yang tadinya tak terungkap menjadi terlihat. Membabarkan berarti memaparkan hal-hal yang sebelumnya tertutup. Dulu orang membabarkan layar, sehingga kain yang tadinya terlipat ini menjadi terbentang. Ini sejalan dengan kata mengibarkan panji-panji, sehingga bendera kain ini tampak ke mana-mana.

      Dari babar dan kibar ini, tampaknya pengertian bar meluas menjadi "tampak/terlihat/berkembang ke mana-mana", atau pasnya: melebar. Benih padi ditebar di pesawahan, peternak mengumbar kambingnya di padang rumput, kelelawar berbebar dari sebuah gua ke langit luas, gosip menyebar ke seluruh kampung. Dan jika dari mulut seseorang banyak kata muncrat ke mana-mana, kita sebut gembar-gembor.

      Akhirnya, ketika manusia yang tadinya berkumpul menjadi berpencar, kita sebut bubar. Variasinya adalah buyar, dengan huruf y. Dan di sini kita kembali ke tautan antara byar dan bar.

      Lema sebelum: Naga seharusnya menyemburkan air, bukan api 
      Lema sesudah: Kidung orang badung yang tersandung 

      Selasa, 21 Februari 2012

      Naga seharusnya menyemburkan air, bukan api


      Di komik atau cerpen, bunyi sesuatu yang terhempas ke air biasanya "Byur! ". Sangat boleh jadi harusnya itu "Bur!". Mengapa? Karena kita biasanya mengatakan nyebur atau tercebur. Ketika kita mandi, dan bunyi air terdengar ke sana-sini, kita biasa menyebutnya jebar-jebur.

      Penautan bur dengan air atau bunyinya ada juga di pantai. Ombak berdebur; dan jika pantai tergenang air, dulu orang menyebutnya limbur.

      Jika kita mengulum air kemudian menyemprotkannya, kita katakan sembur. Tanah yang agak lembek, atau basah berair, kita sebut gembur. Beras atau nasi yang ditanak dengan banyak air, hingga lembek, kita namakan bubur. Dan sesuatu yang melarut di air atau cairan lain, kita sebut melebur. Khusus untuk bahan pewarna dinding, yang diencerkan dengan air, kita beri nama labur

      Jangan lupa pula, ketika kita mandi jebar-jebur, airnya nyiprat ke mana-mana berhambur.

      Mudah-mudahan bahasan di atas lumayan jelas; kalau tidak, akan tampak seperti kalau terlihat melalui membran basah berair: alias kabur.

      Senin, 20 Februari 2012

      Maling paling eling


      Sekarang kita akan melihat bagaimana bunyi ling dikaitkan dengan putaran. Kita mulai dengan baling-baling, kata yang menunjukkan sesuatu yang berputar. Kemudian keliling yang berarti jarak yang ditempuh dalam berputar.

      Setelah itu ada giling untuk proses pelumatan dengan sesuatu yang berputar. Atau guling jika batu menggelinding, tentunya dengan berputar.

      Ketika titik mata berputar, kita menyebutnya kerling. Dan mata yang putaran titiknya tidak serasi, kita namai juling. Jangan lupa, rambut yang berputar atau ikal kita juluki galing.

      Akhirnya, ketika kita mengalihkan tatapan dengan cara memutar leher, kita sebut itu berpaling.

      Sabtu, 18 Februari 2012

      Tentang bintang dan kentang


      Kalau kita menjauhkan tangan kanan kita ke arah kanan, sejauh-jauhnya, dan tangan kiri ke sebelah kiri, kita menyebut ini merentang. Seandainya kedua tangan kita tadi, juga masing-masing memegang ujung dari sehelai kain, kita menyebut ini membentang.

      Posisi tubuh dengan kedua tangan terentang, bisa dibaca sebagai usaha menahan sesuatu agar tidak masuk. Dari sini tampaknya muncul kata rintang.

      Posisi tadi bisa juga diartikan menutup diri dari sesuatu, menolak, atau malah melawan. Maka kita kenal kata pantang,  menentang, dan menantang. (Dan menantang akan lebih meyakinkan jika dilakukan dengan suara lantang.)

      Asosiasi bunyi tang dengan posisi menghalangi, atau tidak searah, berlanjut di kata melintang. Atau juga jika kita berbaring terlentang.

      Jumat, 17 Februari 2012

      Tung! Tung! Achtung, ada puntung!


      TungTung!  Begitulah bunyi alarm para leluhur kita. Bunyi ini keluar dari sebilah bambu besar atau batang pohon yang bagian tengahnya dilubangi. Kita menyebutnya kentung. Pemukulnya disebut pentung.

      Orang menambatkan bagian atas dari alarm ini ke sesuatu yang agak tinggi, dan membiarkan bagian bawahnya mengambang, tidak menyentuh tanah. Kita menyebutnya menggantung.

      Bunyi tung ini digunakan juga untuk organ tubuh yang bagian atasnya terikat, tetapi bagian bawahnya lepas: jantung. Dan ketika orang ada yang sebagian kakinya hilang, misalnya karena kecelakaan, sehingga bagian atas tetap tertambat di badan, tetapi bagian bawahnya mengambang, tidak menyentuh tanah, orang menyebutnya buntung.

      Kemudian bunyi tung ini merambah ke dunia kiasan. Masalah yang mengambang, tidak selesai-selesai, disebut ngatung. Persoalannya terkatung-katung. Orang yang tidak punya pijakan tetap, disebut lontang-lantung.

      Menarik sekali melihat bagaimana bunyi yang keluar dari sebilah kayu bisa bergerak menjadi bagian dari nama organ vital hingga ke problem yang tidak terselesaikan.

      Dan jangan lupa plastik tempat menyimpan belanjaan kita dari warung, yang bagian atasnya kita pegang, sementara bagian bawahnya melayang-layang. Benar, kantung.

      Kamis, 16 Februari 2012

      Cara menjepit kue gapit dengan sumpit


      Kepiting dan kalajengking memiliki lengan dengan dua jari tajam yang kita sebut capit. Gerakan untuk menekan atau menahan sesuatu dengan organ tubuh ini, kita sebut menjepit.

      Tampaknya bunyi pit ini kita anggap cocok untuk menggambarkan keadaan di mana sesuatu tertekan atau tertahan dari dua sisi. Kita menggepit map di bawah ketiak, di antara lengan atas dan dada. Seorang pengantin berjalan diapit kedua orang tuanya. Seorang pegulat menghimpit lawannya dengan kedua kakinya (hm, dia pasti merasa sempit ...).

      Ketika kakek-nenek kita melihat pendatang dari Tiongkok makan dengan memakai dua batang bambu kecil untuk menahan nasi, naluri bahasa mereka langsung lari ke bunyi pit. Maka keluarlah kata sumpit. Padahal kata ini awalnya digunakan untuk alat berburu dari bambu, yang ditahan di mulut oleh kedua belah bibir.

      Menariknya naluri yang sama tampaknya juga keluar di bangsa lain yang bahasanya masih satu keluarga. Di Malaysia, sumpit itu disebut sepit; sementara di Filipina sipit.

      Kata terakhir di atas, di kita digunakan untuk menggambarkan mata yang tampak mengecil karena seperti ditekan oleh kedua belah kelopak.

      Senin, 13 Februari 2012

      Samakan dulu suaranya


      Sebelum menelaah kata-kata lain, ada baiknya kita sepakati dulu beberapa aturan main.

      Pertama, yang akan kita bahas haruslah kata asli, bukan serapan.

      Ini tidak selalu mudah karena tidak sedikit kata serapan yang sudah kita rasa sebagai bagian dari budaya kita sendiri. Misalnya setia, wajah, lihai, dan hampir yang berasal dari bahasa Sansekerta,  Arab, Hokkien, dan Belanda. Bagaimana dengan pengaruh bahasa daerah? Tentu saja diterima, itu kan bagian dari budaya kita.

      Kedua, jumlah kata yang dibandingkan. Empat atau lebih tentunya bisa lumayan meyakinkan. Tiga barangkali masih bisa. Dua, rasanya kurang. Kalau dua, jangan-jangan sebenarnya itu kata yang sama, hanya saja yang satu adalah variasi dari yang lain.

      Ketiga, kekerabatan antar kata harus jelas. Tidak boleh terkesan dipas-paskan, dicari-cari, atau dipaksakan.

      Contoh: kata baris dan garis. Kedua kata dengan bunyi akhir -ris ini cukup menggoda untuk disandingkan. Apakah baris bisa diartikan "berjajar membentuk garis"? Mungkin ya. Sayangnya kita hanya punya dua kata ini, tidak ada kata lain yang mendukung. Aturan nomer dua berlaku.

      Bagaimana dengan laris, atau nyaris? Menghubungkan laris dan nyaris dengan baris dan garis rasanya akan melanggar aturan nomer tiga.

      Tampaknya sudah cukup aturannya. Mari kita teruskan telaah kita.

      Lema sebelum: Masih ingat lagu anak-anak "Tik tik tik, bunyi mesin ketik di atas genting"? 
      Lema sesudah: Cara menjepit kue gapit dengan sumpit 

      Sabtu, 11 Februari 2012

      Masih ingat lagu anak-anak "Tik tik tik, bunyi mesin ketik di atas genting"?

      Dari bunyi tak, sekarang kita pindah ke bunyi tik. Kalau tak diasosiakan dengan bunyi yang agak keras, tampaknya tik dengan bunyi yang agak lembut, sesuatu yang kecil, seperti bunyi tetes air yang jatuh ke lantai: "Tik!".

      Dari sini leluhur kita menyebut hujan yang kecil itu rintik-rintik. Dan ketika melihat air mata jatuh sedikit-sedikit, bukan terisak-isak atau tersedu-sedu, orang menyebutnya menitikkan air mata. Kata dasarnya adalah titik, yang kita pakai untuk menggambarkan sesuatu yang kecil, lembut, dan umumnya bulat. Kata ini bersaudara dengan bintik, yang juga digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang relatif kecil dan cenderung bulat.

      Asosiasi tik dengan sesuatu yang kecil berlanjut di jentik, anak nyamuk yang berenang di air. Atau pantik untuk menggambarkan letupan api yang kecil. Kata ini sekarang jarang digunakan, kita lebih sering mendengar turunannya yaitu pemantik.

      Akhirnya, bila tak melahirkan detak, maka tik menurunkan detik. Jika detak menggambarkan gerakan jarum penunjuk jam dan menit, maka detik digunakan untuk menggambarkan satuan waktu yang lebih kecil.

      Apakah orang Batak memang suka bentak dan gertak?


      Apa yang menyamakan kata detak, bentak, gertak, hentak, dan sentak?

      Jawaban paling mudah: bunyi tak di belakangnya.

      Apakah ada keterkaitan lain? Mari kita lihat.

      Sepertinya leluhur kita zaman dulu, ketika mendengar bunyi agak keras, menirunya dengan ucapan "Tak! ". Dari sini muncullah kata detak untuk menggambarkan bunyi yang lebih keras daripada keadaan biasa. Misalnya detak jantung ketika merasa takut.

      Ketika mereka mengagetkan orang lain dengan bunyi agak keras, mereka menyebutnya sentak. Bila mereka berbicara agak keras, orang menyebutnya bentak. Jika orang menginjakkan kaki ke tanah dengan keras sehingga muncul bunyi, orang menyebutnya hentak. Dan ketika orang ingin menakuti orang lain dengan bunyi, suara, atau ucapan yang keras, kita menyebutnya gertak.

      Saya kira dari contoh di atas kita tidak sulit untuk melihat bagaimana kata-kata yang memiliki kesamaan bunyi, ternyata memang berkerabat pula dalam maknanya.

      Ini yang akan kita telusuri di contoh-contoh lain berikutnya.

      Lema berikut: Masih ingat lagu anak-anak "Tik tik tik, bunyi mesin ketik di atas genting"?