Rabu, 29 Februari 2012

Hati-hati memberi nama


Suatu saat kita akan, atau malah sudah pernah, memberi nama. Mungkin untuk bayi kita, perusahaan yang kita dirikan, gang di depan rumah, kelompok arisan, band sekolah, slogan pilkada, dsb. Nama yang ujungnya berbunyi ram tampaknya harus dipikir ulang. Mengapa? Naluri kita dalam berbahasa sering mengaitkan bunyi ini dengan sesuatu yang cenderung menyedihkan.

Ketika kita sedih, wajah kita muram. Mungkin karena memikirkan masa depan yang suram. Semua yang kita lihat tampak buram.

Ketiga kata tadi memiliki makna tidak terang, tidak bercahaya. Ini tampaknya berasal dari kata lain yang memang berarti menutup. Kita memeramkan mata. Induk ayam mengeram telurnya. Kalau anak disekap di rumah, orang menyebutnya diperam.

Konotasi negatif ini berlanjut di kata lain. Kapal tenggelam, karam. Kuburan di waktu malam, seram. Orang marah besar, geram. Turunan yang terjal menakutkan, curam. Sungai deras berbahaya, jeram. Yang kecil dan tidak bermutu, guram.

Kalau mi siram? Yang ini enak.

Selasa, 28 Februari 2012

Apa hubungan antara Titanic, Cengkareng, dan bangsa terjajah?

Jawabannya adalah posisi di bawah, yang ditampilkan oleh bunyi das.

Titanic kandas, atau tenggelam ke bawah laut. Di Cengkareng tersedia landasan, tempat pesawat turun ke bawah. Jika kita menekan sesuatu ke bawah dengan jari tangan hingga hancur, kita menyebutnya menindas. Begitu juga bangsa yang terjajah, mereka tertindas.

Bila kita menekan sesuatu tadi dengan sebuah alat, misalnya roda, kita menamakannya melindas. Dan kalau kita menghabiskan harta hingga harus merogoh ke bagian bawah kantong kita, kita sebut tandas.

Menariknya, kita tampaknya suka menggunakan bunyi das ini dalam pengertisan kiasan. Tadi sudah kita lihat bangsa tertindas. Kemudian ada harapan kandas. Pejabat yang menandaskan kebijakannnya. Hukum sebagai landasan negara. Dan tim sepakbola kita yang dilindas saingan bebuyutannya.

Minggu, 26 Februari 2012

Cara menyunting gadis ting-ting keriting


Sebelum ini kita sudah bertemu dengan kepiting. Selain menjepit, dia juga bisa menusuk dengan bagian tubuhnya yang tajam. Kita akan lihat bahwa ada benda-benda lain yang sama menusuk, ternyata juga berbunyi ting.

Misalnya perhiasan yang menusuk kulit telinga: anting. Kemudian sayatan bambu yang diruncingkan untuk menutup bungkusan daun: biting. Bagian pohon setelah batang dan dahan, yang bisa menusuk: ranting. Tak ketinggalan juga kakek-kakek kita; ketika mereka menggulung tembakau dengan daun kawung, hingga meruncing seperti ranting, kita sebut melinting.

Dari pengertian menusuk, makna ting tampaknya berkembang menjadi memuncak. Bagian puncak dari dada, kita juluki puting. Dan wanita yang hamil, yang perutnya membesar, disebut bunting. Permasalahan yang berada di puncak, kita golongkan penting. Dan bagian puncak dari rumah, kita namakan genting.

Genting, selain mengacu ke atap, juga bermakna permasalahan yang berada di puncak atau mendesak.
Masalah seperti ini bisa membuat orang pontang-panting. Atau malah sinting?

PS: Orang Inggris menyebut menusuk dan menyengat juga sting ...


Jumat, 24 Februari 2012

Jaka Sembung makan kecubung, perutnya kembung. Nggak nyambung.


Kalau lihat judul, bahasan kali ini mudah ditebak, pasti tentang bunyi bung. Tapi ada kemungkinan obrolan kita agak "nggak nyambung". Mengapa? Karena bung ini paling tidak memiliki tiga arti.

Pertama, seperti di kata membubung dan melambung, yaitu naik tinggi sekali. Kita suka mendengar harga, layang-layang, atau bola membubung atau melambung.

Yang kedua adalah sesuatu yang luarnya melengkung, isinya kosong. Misalnya gelembung, dada menggembung, balon melembung, perut kembung, pipi cembung, atau sederhana saja: tabung.

Yang ketiga, bermakna menyatukan atau mengaitkan, yaitu menyambung, menghubung, atau menggabung.

Di mana kaitan antara ketiga makna itu?
Saya menduga, di pohon bambu.
Bambu?

Ya, bambu. Bambu banyak terkait dengan bunyi bung. Misalnya,  leluhur kita menyebut tunasnya rebung, dan menamakan batangnya bumbung. Ruas bambu yang terpotong, dengan kulit bulat melengkung dan bagian dalam kosong, mereka juluki tabung. Kemudian pohon ini memang langsing tinggi membubung ke atas.

Bagaimana dengan makna ketiga? Sambung, hubung, gabung?
Terus terang di sini terpaksa kita agak berspekulasi. Nenek moyang kita zaman dulu tampaknya banyak menggunakan bambu sebagai bahan material. Misalnya untuk tiang rumah, bilik rumah, pagar, tangga, rakit, saung di sawah, dsb. Dan jangan lupa: jembatan. Baik yang hanya dengan satu ruas bambu, dua, atau lebih banyak lagi. Bambu disambung, digabung, dan dihubungkan satu sama lain sehingga membentuk sebuah jembatan, yang pada gilirannya juga menghubungkan atau menggabungkan dua tempat yang tadinya terpisah.

Nyambung?


Kamis, 23 Februari 2012

Kidung orang badung yang tersandung


Seorang wanita berkerudung yang sedang mengandung berlindung di sebuah gedung ketika hari mendung. Lima bunyi dung di dalam satu kalimat. Adakah keterkaitannya?

Bisa jadi. Ada kemungkinan semuanya bermakna menutup. Tapi kita akan mulai dengan kata lain: tudung. Kata ini biasa kita pakai untuk sesuatu yang menutup; misalnya tudung saji untuk menutupi makanan. Dari sini kita beralih ke kudung: kain yang digunakan untuk menutup kepala. Kita kenal juga variasinya: kerudung.

Ketika langit dipenuhi awan gelap, dan cahaya matahari menjadi tertutup, kita menyebutnya mendung. Dan sebuah bangunan yang menutupi kita, baik dari cahaya matahari maupun hujan, kita namakan gedung.

Sekarang kita lihat anak ayam. Ketika ada elang datang menyambar, mereka berlarian menuju induknya. Si induk mendekap anak-anaknya dengan sayapnya, dia menutupi mereka dari incaran sang elang. Si ibu ayam melindungi buah hatinya.

Ibu, sang pemberi perlindungan kita sebut indung. Kata ini sudah jarang digunakan; kita paling hanya kenal istilah indung telur. Di beberapa daerah, kata ini masih digunakan dengan makna ibu. Misalnya di kalangan orang Banjar, di Kalimantan; atau orang Sunda di Jawa Barat.

Satu lagi kasih ibu untuk kita: sejak awal ibu sudah pasang badan dengan menutupi kita di dalam tubuhnya selama berbulan-bulan lamanya. Ya, itulah saat ketika ibu mengandung kita.

Rabu, 22 Februari 2012

Orang Barbar di bar

Kita sudah lihat bagaimana byur terkait dengan akar kata bur. Bagaimana dengan byar? Apakah terkait dengan bar?

Kita mendengar byar ketika sekeliling kita menjadi terang, misalnya ketika lampu menyala (atau byar-pet jika listrik sering mati-hidup). Kemudian ada gebyar ketika sesuatu diperlihatkan, misalnya pertunjukan di panggung.

Kedua kata tsb. menunjukkan tampaknya sesuatu yang sebelumnya tak terlihat.

Ini sejalan dengan kata gambar, jabar atau babar. Menggambar berarti memunculkan sosok ke atas media yang sebelumnya kosong. Menjabarkan bermakna menerangkan, sehingga detail yang tadinya tak terungkap menjadi terlihat. Membabarkan berarti memaparkan hal-hal yang sebelumnya tertutup. Dulu orang membabarkan layar, sehingga kain yang tadinya terlipat ini menjadi terbentang. Ini sejalan dengan kata mengibarkan panji-panji, sehingga bendera kain ini tampak ke mana-mana.

Dari babar dan kibar ini, tampaknya pengertian bar meluas menjadi "tampak/terlihat/berkembang ke mana-mana", atau pasnya: melebar. Benih padi ditebar di pesawahan, peternak mengumbar kambingnya di padang rumput, kelelawar berbebar dari sebuah gua ke langit luas, gosip menyebar ke seluruh kampung. Dan jika dari mulut seseorang banyak kata muncrat ke mana-mana, kita sebut gembar-gembor.

Akhirnya, ketika manusia yang tadinya berkumpul menjadi berpencar, kita sebut bubar. Variasinya adalah buyar, dengan huruf y. Dan di sini kita kembali ke tautan antara byar dan bar.

Lema sebelum: Naga seharusnya menyemburkan air, bukan api 
Lema sesudah: Kidung orang badung yang tersandung 

Selasa, 21 Februari 2012

Naga seharusnya menyemburkan air, bukan api


Di komik atau cerpen, bunyi sesuatu yang terhempas ke air biasanya "Byur! ". Sangat boleh jadi harusnya itu "Bur!". Mengapa? Karena kita biasanya mengatakan nyebur atau tercebur. Ketika kita mandi, dan bunyi air terdengar ke sana-sini, kita biasa menyebutnya jebar-jebur.

Penautan bur dengan air atau bunyinya ada juga di pantai. Ombak berdebur; dan jika pantai tergenang air, dulu orang menyebutnya limbur.

Jika kita mengulum air kemudian menyemprotkannya, kita katakan sembur. Tanah yang agak lembek, atau basah berair, kita sebut gembur. Beras atau nasi yang ditanak dengan banyak air, hingga lembek, kita namakan bubur. Dan sesuatu yang melarut di air atau cairan lain, kita sebut melebur. Khusus untuk bahan pewarna dinding, yang diencerkan dengan air, kita beri nama labur

Jangan lupa pula, ketika kita mandi jebar-jebur, airnya nyiprat ke mana-mana berhambur.

Mudah-mudahan bahasan di atas lumayan jelas; kalau tidak, akan tampak seperti kalau terlihat melalui membran basah berair: alias kabur.

Senin, 20 Februari 2012

Maling paling eling


Sekarang kita akan melihat bagaimana bunyi ling dikaitkan dengan putaran. Kita mulai dengan baling-baling, kata yang menunjukkan sesuatu yang berputar. Kemudian keliling yang berarti jarak yang ditempuh dalam berputar.

Setelah itu ada giling untuk proses pelumatan dengan sesuatu yang berputar. Atau guling jika batu menggelinding, tentunya dengan berputar.

Ketika titik mata berputar, kita menyebutnya kerling. Dan mata yang putaran titiknya tidak serasi, kita namai juling. Jangan lupa, rambut yang berputar atau ikal kita juluki galing.

Akhirnya, ketika kita mengalihkan tatapan dengan cara memutar leher, kita sebut itu berpaling.

Sabtu, 18 Februari 2012

Tentang bintang dan kentang


Kalau kita menjauhkan tangan kanan kita ke arah kanan, sejauh-jauhnya, dan tangan kiri ke sebelah kiri, kita menyebut ini merentang. Seandainya kedua tangan kita tadi, juga masing-masing memegang ujung dari sehelai kain, kita menyebut ini membentang.

Posisi tubuh dengan kedua tangan terentang, bisa dibaca sebagai usaha menahan sesuatu agar tidak masuk. Dari sini tampaknya muncul kata rintang.

Posisi tadi bisa juga diartikan menutup diri dari sesuatu, menolak, atau malah melawan. Maka kita kenal kata pantang,  menentang, dan menantang. (Dan menantang akan lebih meyakinkan jika dilakukan dengan suara lantang.)

Asosiasi bunyi tang dengan posisi menghalangi, atau tidak searah, berlanjut di kata melintang. Atau juga jika kita berbaring terlentang.

Jumat, 17 Februari 2012

Tung! Tung! Achtung, ada puntung!


TungTung!  Begitulah bunyi alarm para leluhur kita. Bunyi ini keluar dari sebilah bambu besar atau batang pohon yang bagian tengahnya dilubangi. Kita menyebutnya kentung. Pemukulnya disebut pentung.

Orang menambatkan bagian atas dari alarm ini ke sesuatu yang agak tinggi, dan membiarkan bagian bawahnya mengambang, tidak menyentuh tanah. Kita menyebutnya menggantung.

Bunyi tung ini digunakan juga untuk organ tubuh yang bagian atasnya terikat, tetapi bagian bawahnya lepas: jantung. Dan ketika orang ada yang sebagian kakinya hilang, misalnya karena kecelakaan, sehingga bagian atas tetap tertambat di badan, tetapi bagian bawahnya mengambang, tidak menyentuh tanah, orang menyebutnya buntung.

Kemudian bunyi tung ini merambah ke dunia kiasan. Masalah yang mengambang, tidak selesai-selesai, disebut ngatung. Persoalannya terkatung-katung. Orang yang tidak punya pijakan tetap, disebut lontang-lantung.

Menarik sekali melihat bagaimana bunyi yang keluar dari sebilah kayu bisa bergerak menjadi bagian dari nama organ vital hingga ke problem yang tidak terselesaikan.

Dan jangan lupa plastik tempat menyimpan belanjaan kita dari warung, yang bagian atasnya kita pegang, sementara bagian bawahnya melayang-layang. Benar, kantung.

Kamis, 16 Februari 2012

Cara menjepit kue gapit dengan sumpit


Kepiting dan kalajengking memiliki lengan dengan dua jari tajam yang kita sebut capit. Gerakan untuk menekan atau menahan sesuatu dengan organ tubuh ini, kita sebut menjepit.

Tampaknya bunyi pit ini kita anggap cocok untuk menggambarkan keadaan di mana sesuatu tertekan atau tertahan dari dua sisi. Kita menggepit map di bawah ketiak, di antara lengan atas dan dada. Seorang pengantin berjalan diapit kedua orang tuanya. Seorang pegulat menghimpit lawannya dengan kedua kakinya (hm, dia pasti merasa sempit ...).

Ketika kakek-nenek kita melihat pendatang dari Tiongkok makan dengan memakai dua batang bambu kecil untuk menahan nasi, naluri bahasa mereka langsung lari ke bunyi pit. Maka keluarlah kata sumpit. Padahal kata ini awalnya digunakan untuk alat berburu dari bambu, yang ditahan di mulut oleh kedua belah bibir.

Menariknya naluri yang sama tampaknya juga keluar di bangsa lain yang bahasanya masih satu keluarga. Di Malaysia, sumpit itu disebut sepit; sementara di Filipina sipit.

Kata terakhir di atas, di kita digunakan untuk menggambarkan mata yang tampak mengecil karena seperti ditekan oleh kedua belah kelopak.

Senin, 13 Februari 2012

Samakan dulu suaranya


Sebelum menelaah kata-kata lain, ada baiknya kita sepakati dulu beberapa aturan main.

Pertama, yang akan kita bahas haruslah kata asli, bukan serapan.

Ini tidak selalu mudah karena tidak sedikit kata serapan yang sudah kita rasa sebagai bagian dari budaya kita sendiri. Misalnya setia, wajah, lihai, dan hampir yang berasal dari bahasa Sansekerta,  Arab, Hokkien, dan Belanda. Bagaimana dengan pengaruh bahasa daerah? Tentu saja diterima, itu kan bagian dari budaya kita.

Kedua, jumlah kata yang dibandingkan. Empat atau lebih tentunya bisa lumayan meyakinkan. Tiga barangkali masih bisa. Dua, rasanya kurang. Kalau dua, jangan-jangan sebenarnya itu kata yang sama, hanya saja yang satu adalah variasi dari yang lain.

Ketiga, kekerabatan antar kata harus jelas. Tidak boleh terkesan dipas-paskan, dicari-cari, atau dipaksakan.

Contoh: kata baris dan garis. Kedua kata dengan bunyi akhir -ris ini cukup menggoda untuk disandingkan. Apakah baris bisa diartikan "berjajar membentuk garis"? Mungkin ya. Sayangnya kita hanya punya dua kata ini, tidak ada kata lain yang mendukung. Aturan nomer dua berlaku.

Bagaimana dengan laris, atau nyaris? Menghubungkan laris dan nyaris dengan baris dan garis rasanya akan melanggar aturan nomer tiga.

Tampaknya sudah cukup aturannya. Mari kita teruskan telaah kita.

Lema sebelum: Masih ingat lagu anak-anak "Tik tik tik, bunyi mesin ketik di atas genting"? 
Lema sesudah: Cara menjepit kue gapit dengan sumpit 

Sabtu, 11 Februari 2012

Masih ingat lagu anak-anak "Tik tik tik, bunyi mesin ketik di atas genting"?

Dari bunyi tak, sekarang kita pindah ke bunyi tik. Kalau tak diasosiakan dengan bunyi yang agak keras, tampaknya tik dengan bunyi yang agak lembut, sesuatu yang kecil, seperti bunyi tetes air yang jatuh ke lantai: "Tik!".

Dari sini leluhur kita menyebut hujan yang kecil itu rintik-rintik. Dan ketika melihat air mata jatuh sedikit-sedikit, bukan terisak-isak atau tersedu-sedu, orang menyebutnya menitikkan air mata. Kata dasarnya adalah titik, yang kita pakai untuk menggambarkan sesuatu yang kecil, lembut, dan umumnya bulat. Kata ini bersaudara dengan bintik, yang juga digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang relatif kecil dan cenderung bulat.

Asosiasi tik dengan sesuatu yang kecil berlanjut di jentik, anak nyamuk yang berenang di air. Atau pantik untuk menggambarkan letupan api yang kecil. Kata ini sekarang jarang digunakan, kita lebih sering mendengar turunannya yaitu pemantik.

Akhirnya, bila tak melahirkan detak, maka tik menurunkan detik. Jika detak menggambarkan gerakan jarum penunjuk jam dan menit, maka detik digunakan untuk menggambarkan satuan waktu yang lebih kecil.

Apakah orang Batak memang suka bentak dan gertak?


Apa yang menyamakan kata detak, bentak, gertak, hentak, dan sentak?

Jawaban paling mudah: bunyi tak di belakangnya.

Apakah ada keterkaitan lain? Mari kita lihat.

Sepertinya leluhur kita zaman dulu, ketika mendengar bunyi agak keras, menirunya dengan ucapan "Tak! ". Dari sini muncullah kata detak untuk menggambarkan bunyi yang lebih keras daripada keadaan biasa. Misalnya detak jantung ketika merasa takut.

Ketika mereka mengagetkan orang lain dengan bunyi agak keras, mereka menyebutnya sentak. Bila mereka berbicara agak keras, orang menyebutnya bentak. Jika orang menginjakkan kaki ke tanah dengan keras sehingga muncul bunyi, orang menyebutnya hentak. Dan ketika orang ingin menakuti orang lain dengan bunyi, suara, atau ucapan yang keras, kita menyebutnya gertak.

Saya kira dari contoh di atas kita tidak sulit untuk melihat bagaimana kata-kata yang memiliki kesamaan bunyi, ternyata memang berkerabat pula dalam maknanya.

Ini yang akan kita telusuri di contoh-contoh lain berikutnya.

Lema berikut: Masih ingat lagu anak-anak "Tik tik tik, bunyi mesin ketik di atas genting"?